Aku dilahirkan di tengah-tengah
keluarga yang sederhana. Sangat sederhana. Ayahku berprofesi sebagai seorang
Guru dan Ibuku hanya bertugas memenuhi kebutuhan kami di rumah. Kami? Iya. Ayah,
aku, dan dua kakakku. Gaji Ayah yang tidak seberapa itu hanya cukup memenuhi
kebutuhan primer kami. Tak jarang pula Ayah harus menahan malu untuk meminjam
uang pada orang lain apabila anaknya membutuhkan sesuatu dan beliau sudah tidak
memiliki uang. Untungnya kakakku yang pertama sekarang sudah bekerja dan bisa
menafkahi diri sendiri.
Waktu
itu aku sudah akan mengikuti UN di tingkat SMA. Hingga tiba-tiba pada Kamis
dinihari tanggal 28 Maret 2013 terjadi sesuatu yang benar-benar diluar
dugaanku. Ayah tiba-tiba terjatuh tak sadarkan diri selama beberapa menit
hingga kemudian menghembuskan napas terakhirnya di dekatku. Tidur di dekatku. Ayah
yang kemarin masih sempat bersabar dan menungguku selama 30 menit sepulang
sekolah kini memaksa aku yang harus bersabar mengantar kepergiannya ke pangkuan
Ilahi. Sungguh Tuhan itu adil ya. Aku masih ingat betul dengan pesan Ayah
sewaktu masih hidup, “Jangan pernah kau berhenti untuk belajar dan ingatlah
untuk berterima kasih kepada orang tuamu”. Ini selalu kujadikan motivasi dalam
hidup. Ketika aku terjatuh dan tak ada yang mau mengulurkan tangannya untuk
membangunkanku.
Setelah
dinyatakan lulus UN, aku sempat berpikir untuk tidak melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi karena khawatir akan biayanya yang pasti cukup besar. Namun,
lagi-lagi pesan Ayah menghantui pikiranku. “Bagaimana aku bisa berterima kasih
kepada mereka kalau aku malah menyia-nyiakan pengorbanan mereka yang selama ini
telah membiayai pendidikanku selama 13 tahun?” Akhirnya aku memutuskan untuk
mendaftar ujian masuk di perguruan tinggi negeri. Tidak mungkin aku
mendaftarkan diri di perguruan tinggi swasta mengingat biayanya yang sangat
mahal. Akhirnya dengan penuh perjuangan, harus tinggal di kost yang sempit
milik sepupuku dan tersesat di hari pertama ujian, beberapa minggu kemudian aku
dinyatakan lulus masuk ke perguruan tinggi negeri favorit di kota Makassar ini.
Aku langsung memeluk Ibu saat itu juga dan tak lupa pula mengunjungi “rumah”
Ayah yang sekarang harus tinggal terpisah dengan kami. Sekarang aku akan
menghadapi ujian untuk masuk ke semester dua. Selama semester satu ini aku
benar-benar seperti orang yang kehilangan arah di 3 bulan pertama. Tidak bisa
berbaur dengan teman-teman yang lain dan tidak pernah memiliki keberanian untuk
mengutarakan pendapat saat diskusi berlangsung. Ini mengakibatkan nilaiku
kemungkinan besar cukup rendah. Tapi aku tidak patah semangat. Aku memiliki
motivasi dalam diriku yang akan selalu kujadikan pijakan untuk bangkit dan
berdiri. Terbukti, 3 bulan berikutnya aku mulai bisa berbaur dengan
teman-teman, meski masih sebagian kecil. Aku juga sudah mulai memberanikan diri
untuk bertanya, menjawab, atau hanya sekedar mengeluarkan tanggapan saat
diskusi berlangsung. Dan bahkan nilai untuk mid semester mata kuliah Bahasa
Inggris lumayan tinggi, mata kuliah kesukaan saya memang. Ah pokoknya aku berharap
IPK yang aku dapat semester ini tidak menyedihkan, karena ini akan menjadi
langkah awal untuk aku berterima kasih kepada kedua orang tuaku. Khususnya buat
Ayah yang ada di surga J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar